Al-Qur’an Surat Ar-Rahman
ayat 5:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (الرحمن:5)
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut
perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
2. Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ (يونس:5)
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 185).
3. Hadis al-Bukhari dan Muslim,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم] .
Artinya: Apabila kamu melihat hilal
berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang
oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari, dan lafal di atas
adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
4. Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi,
yaitu sabda Nabi saw,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang
ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan
kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan Muslim].
Pada zamannya, Nabi saw dan para Sahabatnya
tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah,
melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada angka 3 di atas
dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah
Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai
‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam hadis pada angka 4 di
atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi (Rasyid Rida, Tafsir
al-Manar, II: 152). Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan
ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan
dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus
di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan
melihat hilal bulan secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti
bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak
terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
Sesuai dengan kaidah fikih (al-qawa‘id
al-fiqhiyyah) yang berbunyi,
الحكم يدور مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau
tidak adanya ‘illat dan sebabnya [I‘lam al-Muwaqqi‘in, IV: 105],
maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi,
hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus,
karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju,
maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita
kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab)
untuk menentukan awal bulan baru kamariah.
Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk
mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas pokok yang
diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman
Allah,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ [الجمعة (62) : 2].
Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q. al-Jumu‘ah (62): 2].
Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw
menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya
membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca
tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan
seperti tercermin dalam sabdanya,
طلب العلم فريضة على كل مسلم [رواه الطبراني عن عبد الله بن مسعود ، ووكيع عن أنس]
Artinya: Menuntut ilmu wajib atas setiap
muslim [HR ath-Thabarani dari ‘Abdullah Ibn Mas‘ud, dan riwayat Waki‘ dari
Anas].
Dalam kerangka misi ini, sementara umat masih
dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat
buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi
itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer
menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan
menggunakan hisab,
اْلأَصْلُ فِيْ إِثْباَتِ الشَّهْرِ أَنْ يَكُوْنَ باِلْحِسَابِ
Artinya: Pada asasnya penetapan bulan qamariah
itu adalah dengan hisab [yaraf al-Qudah].
Dalam Muhammadiyah digunakan hisab hakiki
wujudul hilal. Arti hisab hakiki adalah bahwa penanggalan didasarkan kepada
gerak sebenarnya (hakiki / sesungguhnya) dari Bulan. Hisab hakiki berbeda
dengan hisab urfi, yang tidak mendasarkan pada gerak sebenarnya dari Bulan,
sehingga antara hisab urfi dan gerak Bulan tidak selalu sejalan, terkadang
hisab urfi mendahului dan terkadang terlambat. Wujul hilal artinya keberadaan
Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi. Jadi
hisab hakiki wujudul hilal itu menetapkan bulan baru dengan tiga kriteria,
yaitu:
a. telah terjadi ijtimak (konjungsi), yaitu
tercapainya satu putaran sinodis Bulan mengelilingi bumi,
b. ijtimak terjadi sebelum terbenamnya
matahari, dan
c. pada saat matahari terbenam Bulan berada di
atas ufuk.
Apa yang dikemukakan di atas adalah alasan
syar‘i. Sedangkan alasan astronomis adalah:
1) Rukyat tidak dapat dijadikan landasan untuk
membuat kalender, karena dengan rukyat, awal bulan baru bisa diketahui pada
H-1, dan rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh ke depan sehingga tidak mungkin
membuat penjadwalan waktu.
2) Rukyat tidak bisa menyatukan tanggal di
seluruh dunia karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat hanya bisa dipedomani
pada kawasan normal, yaitu kawasan di bawah garis 60º LU dan di atas garis 60º
LS. Kawasan di luar itu adalah tidak normal karena munculnya Bulan akan
terlambat. Di kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim
dingin yang bisa dilihat hanya Bulan purnama dan Bulan cembung. Bulan sabit
berada di bawah ufuk selama musim dingin.
3) Rukyat akan membelah kawasan muka bumi
menjadi dua bagian, yaitu kawasan yang bisa merukyat dan kawasan yang pada sore
yang sama tidak bisa merukyat yang berakibat terjadinya perbedaan memasuki
bulan baru. Kawasan yang sudah bisa merukyat hilal memasuki bulan baru pada
malam itu dan keesokan harinya, sementara kawasan yang tidak bisa melihat hilal
pada sore tersebut memasuki bulan baru lusa. Rukyat akan senantiasa membelah
muka bumi, sehingga mustahil menyatukan awal bulan kamariah berdasarkan rukyat.
Berikut ini adalah peta kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M)
berdasarkan kriteria rukyat ‘Audah.
Kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober 2007
M).
Garis A adalah garis terbenamnya Matahari dan
Bulan bersamaan. Sedangkan kurve B menunjukkan bahwa kawasan di dalam kurve B
tersebut bisa merukyat hilal Syawal pada sore Kamis 11 Oktober 2007. Tampak
bahwa hilal Syawal terlihat di kawasan kecil di selatan benua Amerika Latin,
yaitu beberapa daerah di Cile, sementara di ibukota Santiago sendiri hilal Syawal tidak dapat
dilihat. Pada kawasan dunia lainnya hilal syawal 1428 (2007) tidak dapat
dirukyat pada hari tersebut. Keadaan ini memaksa dunia memasuki 1 Syawal 1428 H
pada hari yang berbeda.
4) Atas dasar itu, maka pada tahun tertentu,
rukyat akan memaksa umat Islam di dunia untuk melaksanakan puasa Arafah pada
hari yang berbeda dengan hari terjadinya wukuf di Arafah (Mekah) secara riil.
Sebagai contoh adalah Zulhijah 1431 H. Pada sore Sabtu (hari konjungsi) 06
November 2010 M, di Mekah tinggi (titik pusat) Bulan geosentrik saat Matahari
terbenam baru mencapai setengah derajat (0,5º). Tinggi toposentrik malah masih
minus. Itu artinya Mekah akan menggenapkan Bulan Zulkaidah 30 hari dan akan
memulai tanggal 1 Zulhijah 1431 H pada hari Senin 08 November 2010 M dan hari
Arafah akan jatuh pada hari Selasa 16 November 2010 M. [Catatan: di Mekah
rukyat selalu tidak akurat, sering terjadi klaim rukyat padahal Bulan masih di
bawahg ufuk sebagaimana kasus-kasus beberapa tahun belakangan]. Sementara itu
di bagian selatan benua Amerika Latin hilal Zulhijah insya Allah terlihat pada
hari Sabtu 06 November 2010 H apabila langit cerah. Di ibukota Cile, Santiago , tinggi Bulan
geosentrik adalah 09º 49’ 35”. Itu artinya bahwa sebagian besar masyarakat
Muslim Amerika Latin akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Ahad 07 November 2010 M
dan hari Arafah akan jatuh pada hari Senin 15 November 2010 M. Jadi timbul
perbedaan hari mengerjakan puasa Arafah antara Mekah dan Amerika Latin.
Pertanyannya kapan orang Muslim di sana
melaksanakanpuasa Arafah: pada hari Senin sesuai penanggalan mereka? Padahal di
Mekah belum terjadi wukuf karena wukuf baru keesokan harinya (Selasa). Atau
mereka menunda satu hari, menunggu wukuf hari Selasa di Mekah, tapi itu adalah
hari Idul Adha bagi mereka (tanggal 10 Zulhijah). Inilah problem penanggalan
yang ditimbulkan oleh rukyat.
Contoh lain adalah Zulhijah 1455 (Februari
2034 M). Sore Ahad 19 Februari 2009 M, hilal Zulhijah diperkirakan dapat
dilihat di Mekah. Konjungsi terjadi hari Ahad 19-02-2034 M pukul 02:10 Waktu
Mekah dan tinggi Bulan geosentrik saat matahari terbenam sore Ahad adalah 07º
34’ 26”. Ini artinya Mekah memulai 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20
Februari 2034 M dan arafah jatuh pada hari Selasa 28 Februari 2034 M. Sementara
di Yogyakarta tinggi geosentrik titik pusat Bulan baru mencapai 03º 29’ 30”
(tinggi toposentrik 02º 29’ 49”). Menurut kriteria Istambul dan ‘Audah, tinggi
Bulan demikian belum memungkinkan untuk dapat dirukyat. (Catatan: di Indonesia
tinggi 2º saja dianggap telah dapat dirukyat, dan ini tidak sesuai dengan
kriteria internasional). Jadi rukyat akan memaksa Indonesia memasuki Zulhijah 1455 H
(2034 M) pada hari berbeda dan akan menimbulkan problem pelaksanaan puasa
Arafah. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan kalender Islam dan sebaliknya
memaksa memasuki bulan kamariah baru pada hari berbeda sehingga timbul problem
anatara lain pelaksanaan puasa Arafah.
Dengan alasa-alasan di atas, maka tidak ada
pilihan lain kecuali menggunakan hisab. Menyadari hal ini, maka Temu Pakar II
yang diselenggrakan oleh ISESCO di Maroko tahun 2009 menegaskan bahwa pemecahan
problem penetapan bulan kamariah tidak dapat dilakukan kecuali berdasarkan
penggunaan hisab.
Tentang Rukyat Global
Kembali kepada pertanyaan pokok tentang rukyat
di suatu tempat yang diberlakukan bagi seluruh dunia, maka hal itu secara
astronomis adalah mustahil apabila yang dimaksud adalah rukyat fisik (fikliah).
Kemustahilan rukyat global fikliah itu adalah karena jangkauan rukyat untuk
dapat ditransfer ke arah timur maksimal adalah 9 jam atau 10 jam, sementara
selisih waktu antara zona timur dan zona barat adalah 24 jam. Bahkan sejak Kiribati
mengubah dan membelokkan Garis Tanggal Internasional ke batas timur negara
tersebut sejak tahun 1995, beda waktu zona timur (pada titik K) dengan zona
barat menjadi 26 jam. Apabila terjadi rukyat di Maroko pada suatu sore pada jam
07:00 sore, maka rukyat Maroko jam 07:00 sore itu hanya dapat diberlakukan
paling timur adalah di Indonesia bagian timur. Lebih dari itu, maka tidak bisa
diberlakukan lagi karena sudah keburu subuh. Apabila terjadi rukyat di New York
pukul 06:00 sore musim semi, maka orang Indonesia tidak mungkin menunggu rukyat
New York itu, karena saat rukyat terjadi di new York, di Indonesia hari sudah
pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat global secara fikliah itu adalah mustahil.
Perlu dicatat bahwa memang dalam kitab-kitab
fikih, banyak ulama yang membenarkan rukyat global (rukyat di suatu tempat
berlaku utnuk seluruh dunia). Imam Ibn Taimiyyah, asy-Syaukani, Ibn ‘Abidin,
semuanya pendukung rukyat global. Imam Nawawi mengutip pendapat sejumlah ulama
Syafiiah bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat, maka berlaku untuk
seluruh muka bumi. Perlu dicamkan bahwa ulama-ulama tersebut mengemukakan
ijtihadnya dalam kondisi astronomi belum mencapai kemajuan spektakuler seperti
sekarang. Mereka belum semua mengetahui bahwa bumi ini bulat, belum ada garis
Tanggal Internasional, belum banyak memahami bahwa Bulan bergerak secara semu
semakin meninggi ke arah barat, dan banyak lagi yang lain. Bahkan banyak di
antara ulama itu yang sama sekali tidak memahami dasar-dasar astronomi,
meskipun banyak yang menguasainya. Jadi kesimpulannya adalah bahwa rukyat di
suatu tempat mustahil diberlakukan di seluruh dunia. Yang bisa dipakai hanyalah
imkanu rukyat global, tetapi imkanu rukyat bukanlah rukyat, melainkan adalah
hisab. Kemustahilan menggunakan rukyat global juga telah ditegaskan dalam
keputusan Temu Pakar II di Maroko yang kutipannya dikemukakan berikut ini.
Sebagai penutup perlu dikutipkan keputusan
“Temu Pakar II untuk Perumusan Kalender Islam” yang dilangsungkan di Maroko
dengan disponsori oleh ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural
Organization), suatu badan OKI (Organisasi Konferensi Islam), yang berbunyi:
Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta
telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di
kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan
terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan
hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan
hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.
Dalam keputusan tersebut juga ditegaskan bahwa
kita tidak mungkin menggunakan rukyat global dan beberapa prinsip lain seperti
tercermin dalam butir ketiga keputusannya yang berbunyi,
Ketiga, Masalah Transfer Imkanu Rukyat:
Mengingat bahwa rukyat hilal dilakukan ketika terbenamnya matahari setelah
terjadinya konjungsi, dan rukyat itu terkait dengan tempat sebagaimana halnya
waktu-waktu salat, dan berbeda dengan konjungsi yang ditentukan untuk seluruh
muka bumi, demikian juga rukyat terkait dengan cara mengintai hilal seperti
rukyat visual dengan mata telanjang, atau dengan bantuan alat optik, atau dari
pesawat, atau dengan satelit, maka para peserta menegaskan bahwa prinsip
“transfer rukyat” –yang berdasarkan kepadanya kawasan yang tidak dapat melihat
hilal berpegang kepada rukyat yang terjadi pada tempat lain– tidak mungkin
didiberlakukan secara umum ke seluruh dunia, sebab ketika terjadinya rukyat hilal
pada suatu petang di suatu kawasan sebelah barat, kawasan sebelah timur telah
memasuki hari berikutnya karena adanya perbedaan waktu antara kawasan timur dan
barat. Transfer rukyat semacam itu bertentangan dengan upaya penyatuan kalender
Islam. Demikian pula halnya dengan prinsip “penyatuan rukyat” –yang dengannya
bulan baru tidak dimulai sebelum terjadinya rukyat baik secara visual maupun
dengan hisab (imkanu rukyat) di suatu tempat di muka bumi, karena alasan yang
sama.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber : http://www.kaskus.co.id/thread/51da1e2c3c118eb611000001/dasar-hisab-dari-al-quran-dan-hadits/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar